Beranda | Artikel
Berhaji dalam Keadaan Berutang
Jumat, 12 November 2010

Tanya: Apakah boleh seseorang berhaji dalam keadaan berutang? Aku pernah mendengar, ada yang katakan bahwa tidak boleh seseorang berhaji dalam keadaan seperti itu sampai ia melunasi utang-utangnya. Apakah benar seperti itu? Apakah haji itu hanya diperintahkan pada orang yang telah nikah saja atau selainnya (yaitu bujang) juga termasuk di dalamnya?

 

Jawaban dari Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’:

Pertama, jika berutang tadi mampu untuk dilunasi ditambah ia masih memiliki nafkah untuk berangkat haji dan ia tidak terasa berat untuk melunasinya, atau ia berhaji dan diizinkan dan diridhoi oleh orang yang memberi utangan, maka dibolehkan seperti itu. Jika tidak demikian, maka tidak dibolehkan ia berhaji. Namun seandainya ia berhaji pun dalam keadaan seperti itu, hajinya sah.

Kedua, hukum berhaji bagi seorang mukallaf (yang dibebani syariat) adalah wajib jika ia mampu (untuk berhaji), terserah dia sudah menikah ataukah masih bujang. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron: 97)

Wabillahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini:

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ 11/48-49, pertanyaan kelima no. 9405.

***

Dari sini kita dapat memahami bahwa hukum haji dalam keadaan berutang itu boleh asalkan ia mampu atau yakin melunasi utangnya atau diridhoi oleh orang yang memberi utangan. Namun tentu saja utang ini dicari dengan jalan yang halal, tanpa riba, tanpa bunga, bukan meminjam di bank. Akan tetapi, demikianlah keadaan sebagian orang yang berangkat berhaji, tidak kenal halal dan haram. Padahal haji adalah ibadah yang amat urgent. Namun kenapa begitu nekad mendatangi bank dan meminjam uang dari mereka, dan ini tentu saja riba. Karena di balik utang bank itu ada keuntungan yang mereka ambil. Keuntungan inilah riba. Sebagaimana para ulama katakan, “Setiap utangan yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.” Jika orang berhaji, carilah cara yang halal untuk mendapatkan utang karena ancaman adalah laknat Allah bagi orang yang meminjam uang dan membayar ribanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)

Renungkanlah, bagaimana bisa meraih haji mabrur jika sejak awal sudah mendapatkan laknat seperti ini? Padahal yang disebut haji mabrur adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521). Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” (Lihat Fathul Bari, 3/382)

Sabarlah untuk menabung sebagai bekal haji. Jika kita ingin selalu cari yang halal dan diridhoi Allah, pasti Allah akan mudahkan.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Written in the morning blessed, 3 days before wuquf in Arofah, 6 Dzulhijjah 1431 H, KSU, Riyadh, KSA

By: Muhammad Abduh Tuasikal

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/2568-berhaji-dalam-keadaan-berutang222.html